Kemandulan Perguruan Tinggi


Perguruantinggi sejatinya menjadi pusat kegiatan intelektual. Dalam rahim perguruan tinggi pula akan diharapakan lahir para generasi muda yang menentukan arah kualitas dan kuantitas perubahan nasib bangsa ini. Lalu permasalahannya, mengapa banyak sarjana pengangguran? 

Menjamurnya fenomena pengangguran sarjana, disebabkan banyaknya perguruan tinggi memberi iminig-iming setelah lulus akan suskes dalam dunia kerja. Konsep ini dijual tak lain hanyalah untuk menyakinkan para calon mahasiswa. Mereka menonjolkan besaran alumni yang terserap dalam dunia kerja . Jelas, itu satu jurus klasik perguruan tinggi menjawab rasa malu terhadap kritikan sosial atas kegagalan anak didiknya dalam menghadapi dunia nyata. 

Tetapi menjadi bumerang jika dasar asumsi tersebut murni dijadikan sebuah landasan ideologi untuk memformulasikan sistem pendidikan. Efeknya perguruan tinggi bias terjebak dalam sistem pasar yang begitu dominan dengan ide-ide kapitalis imperalis dan akan melupakan fungsinya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, melahirkan generasi muda yang mandiri dalam berpikir dan bertindak kritis-analitis, konstruktif-solutif.

Perguruan tinggi akan berubah fungsi sebagai pegantar peradaban tetapi abdi pasar, sebagai penyedia buruh-buruh kaum kapitalis. Para calon sarjana dikondisikan bergantung pada kebutuhan pasar. Calon Sarjana menjadi rendah dan direndahkan. Sarjana kalah dengan keangkuhan orang-orang berduit. Fenomena ini terindikasi pada beredarnya paradigma berfikir cepat lulus dan segera mendapatkan pekerjaan. Pincanglah mereka. Kuliah semata-mata bukan untuk memperkaya ilmu, melakukan pemberdayaan diri dan masyarakat, tetapi mencari pekerjaan. 

Dapat disimpulkan perguruan tinggi sama halnya dengan sistem pasar. Pembeli yang mempunyai uang dalam jumlah besar dapat mudah memilih dan membeli barang berkualitas. Begitu juga dengan perguruan tinggi, mahasiswa akan mendapatkan fasilitas lengkap dan pendidikan bermutu jika dia mampu membayar dengan harga yang mahal. Tak ayal jika perguruan tinggi bergengsi banyak dihuni oleh orang-orang berduit. Meski calon mahasiswa miskin berprestasi mendapatkan peluang dengan bantuan beasiswa, keadilan selalu tidak berpihak kepada mereka yang miskin dan intelektualnya pas-pasan. Bahkan, mereka selalu tersisih dan tidak punya kesempatan mengubah keadaan karena keterbatasan kemampuannya. Mereka tak bisa berbuat banyak kecuali hanya “mengisap jempol”. Haruskah mereka termaginalkan untuk memperoleh pendidikan berkualitas karena kemiskinannya? Lantas mana janji cita cita bangsa undng-undang yang secara tegas menyatakan bahwa anak-anak bangsa mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan? 

Memang tidak etis jika persoalan pendidikan disalahkan sepenuhnya kepada perguruan tinggi. Sistemlah yang memaksa demikian. Pemerintah yang semestinya menjawab persoalan itu. Mengapa pada masa Orde Baru yang alokasi anggaran pendidikan tidak mencapai 20 persen, biaya pendidikan bisa murah? Kini setelah 20 persen anggaran dari APBN untuk biaya pendidikan, mengapa pendidikan justru semakin mahal dan sulit terjangkau? Idealnya, semakin besar anggaran pendidikan yang dialokasikan oleh pemerintah, semakin terjangkau biaya pendidikan untuk masyarakat. Perguruan tinggi, engkau ini bagaimana? Jangan kau sembunyikan jati dirimu,jangan kau bermewah dengan perhiasaan uang kebodohan anak bangsa tanahmu.

Rizky Jonathan, PMB Departemen Hukum dan Kebijakan Publik

Tinggalkan komentar